Tampilkan postingan dengan label kekuatan media publik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kekuatan media publik. Tampilkan semua postingan

Rabu, 28 September 2022

Perspektif Psikologi : Kekuatan Media Publik Menjadi Badai di Institusi POLRI

Menurut KBBI, “badai” dapat di artikan sebagai angin kencang yang di sertai cuaca buruk. Dalam intepretasinya pada kasus kematian brigadir J (inisial) menjadi musibah terhadap citra dan kepercayaan publik terhadap intitusi ini sehingga banyak menyita perhatian publik, bahkan sugeng agus sentosa (IPC) mengatakan ini merupakan special case saat di wawancarai oleh tim narasi newsroom pada tanggal 12 Agustus 2022. Pada kasus ini banyak terjadi kesenjangan informasi mengenai motiv pembunuhan hingga penyalahgunaan wewenang 

Dari kesenjangan informasi tersebut dominannya masyarakat Indonesia memahami bahwa sebetulnya ini merupakan bagian dari rangkaian kecurangan, tipuan, atau “pembodohan publik” yang dilakukan oleh pihak terkait untuk menutupi arah hukum yang semestinya. Terkait kasus ini dalam konsentrasi psikologi hal ini di sebut fraud atau dengan kata lain dapat diartikan sebagai upaya penipuan atau kecurangan dan menyebabkan kerugian materil maupun imateril yang sangat besar di institusi manapun (Wilhelm, 2004; Kayo, 2013; Wind, 2014).

Selain itu Wilhelm (2004) mengatakan bahwa perilaku fraud ini tidak hanya di lakukan oleh individu yang terdesak secara sosial-ekonomi, bahkan sampai kepada mereka yang memiliki status sosial, jabatan, keahlian dan kekuasaan. Adapun Wind (2014) mengatakan bahwa orang-orang yang berada di jalur selain sosial-ekonomi yang sudah di uraikan di atas merupakan pelaku fraud (fraudsters) ter-ekstrim di mana dirinya berpotensi “mengakali” sistem hingga menguntungkan dirinya atau kelompoknya dan setelah itu melakukan undoing atau “penebusan dosa” dengan cara memberikan hadiah kepada individu tertentu, penjamuan yang berlebihan hingga bersedekah dengan kaum dhuafa sebagai hasil image sosial terselamatkan.

Samboisme Bagian Dari Fraudsters?

Terkait dengan teoritis di atas penulis menyimpulkan bahwa, tersangka bintang dua FS (inisial) terindikasi adanya unsur fraudsters yang mana ia menjadikan kekuasaannya sebagai jalan untuk melakukan bentuk tindakan yang melanggar Undang-Undang dan Kode Etik Kepolisian seperti halnya informasi di media cetak, radio atau sosial media yang sudah beredar. Argumen ini di perkuat dari terbukanya jaringan FS dar 31 tersangka personil Polri lainnya yang membantu FS untuk menciptakan kebohongan dan melancarkan kecurang, hal ini juga di perkuat dari dibubarkannya SATGASUS Merah Putih oleh Kapolri Listyo Sigit Prabowo yang terindikasi bagian dari jaringan FS. Selain itu setelah pasca pembunuhan, individu yang berada di bawah kontroling FS, jika melakukan kebohongan yang terstruktur ini akan di berikan uang tunai dalam bentuk dolar, ini merupakan prilaku undoing atau “penebusan dosa” dari apa yang telah di lakukan.

Perkembangan kasus ini yang saat ini semakin terbuka tidak terlepas dari jebakan psikologis yang di lakukan oleh Kamaruddin Simanjuntak dan Tim sebagai pengacara Brigadir J yang menggunakan kekuatan media publik untuk melancarkan jebakan tersebut. Hal ini terlihat dari pernyataan Kamaruddin Simanjuntak yang berlawan dari konferensi pers dan setiap pernyataan tersebut di nyatakan ke media pasti setelah konferensi pers SATGASUS Merah Putih di terbitkan, sehingga menimbulkan kesenjangan fakta yang mengakibatkan tim SATGASUS Merah Putih ini mengganti skenarionya berdasarkan temuan fakta dari Kamaruddin Simanjuntak.

Dilema Elit di Sasar Media Publik

Melalui media massa, bangsa ini cenderung selalu dipertontonkan  permainan drama panggung elit yang selalu menjadi kamuflase, hal tersebut terjadi karena media Massa dengan pemberitaannya diyakini oleh banyak orang (termasuk banyak Pembuat keputusan) sebagai sumber Informasi yang dapat dipercaya (Severin, 2007: 266).

Media Publik mungkin tidak selalu sukses dalam mengajak khalayak untuk berpikir apa (what to think), tetapi media publik selalu sukses dalam mengajak masyarakat untuk berpikir tentang apa (what to think about). Dalam hal ini pola psikologis masyarakat indonesia mulai melihat kasus FS ini sebagai ketidakpastian institusi polri dalam menangani masalah. Bukan hanya itu, bahkan masalah yang terjadi, publik berasumsi bersumber dari institusi itu sendiri. Sebagai contoh terbongkarnya pembunuhan brigadir J tentu banyak pertanyaan yang harus di jawab institusi tersebut, apa yang menjadi motiv secara psikologis terjadinya pembunuhan tersebut, bagaiman bisa dari beberapa kasus yang di tangani cctv bisa tidak terdeteksi, bagaimana sambo memainkan peran fraud kepada jaringannya, ini merupakan pertanyaan yang mendasar, akan tetapi jika di kaitkan dengan kasus yang pernah di tangani FS, apakah benar di tangani secara profesional?. 

Kita tahu bahwa polisi sangat di butuhkan di negara Republik Indonesia ini, akan tetapi publik sangat tidak ingin institusi ini menjadi kotor oleh Individu yang tidak profesional, serakah, dan di pimpin oleh individu yang tidak mencintai Republik ini. Jika kita berpikir lebih jauh secara organisasi, masyarakat bisa saja memberikan pemikirannya tentang apa saja yang menjadi penyebab institusi ini menjadi kotor? Apakah pihak Sumber Daya Manusia (SDM) Polri tidak berperan secara moral dan profesional? Bagaiman kesalahan ini terjadi dari kesalahan konsep untuk merekrut personil yang berkualitas? Apakah yang menjadi budaya kerja polri yang keliru?

Dari pertanyaan di atas, media publik sangat mampu untuk membuka dan mendorong parah tokoh RI untuk merekontruksi fungsi Polri sesuai Undang-Undang yang tersusun dengan semestinya.

Penulis : Dhya Ulhaqqi