Sabtu, 01 Oktober 2022

Analisis Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam perspektif psikologi

Bagaiaman sebuah tindakan dan perilaku dapat di sebut tindakan kekerasan dalam rumah tangga?

    Secara umum kekerasan di anggap sebagai dampak kerugian atau merugikan orang lain dalam bentuk moril atau inmoril terhadap yang di jadikan korban, tak jarang juga yang melakukan kekerasan juga di anggap sebagai korban dalam perspektif hukum. Dalam hal ini tentunya kekerasan dalam elemen keluarga seperti antara anak, ibu dan bapak. Secara moral, pada dasarnya sebuah keluarga menginginkan apa yang di sebut dengan harmoni, kebahagian, ketulusan dan sebagainya, namun hal tersebut sangat di perlukan konsistensi perjuangan dalam mempertahankannya yangmana sangat di pengaruhi dalam beberapa faktor. Lalu bagaimana yang disebut dengan tidakan kekerasan? 

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat disebut sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan umumnya oleh seorang pengasuh, orangtua, atau pasangan. KDRT dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, di antaranya: 

- Kekerasan fisik

- Penggunaan kekuatan fisik

- Kekerasan seksual, sebagai contoh setiap aktivitas seksual yang dipaksakan

- Kekerasan emosional, yang mana tindakan yang mencakup ancaman, kritik dan menjatuhkan yang terjadi terus menerus; dan mengendalikan.

Hal di atas di perkuat berdasarkan Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang PKDRT pada pasal 1 butir 1 menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk meiakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Demikian juga pada pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anaktiri); (b) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau (c) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga).

Penelitian Lau dan Kosberg, (1984) menegaskan bahwa ada empat tipe kekerasan, di antaranya: physical abuse, psychologicalabuse, materialabuse ortheft ofmoneyor personalproperty, dan violation of right. Dalam penelitian tersebut anak-anak yang menjadi korban KDRT cenderung memiliki ketidakberuntungan secara umum. Merekacenderung menunjukkan tubuh yang lebih kecil, memiliki kekuatan yang lebih lemah, dan merasa tak berdaya terhadap tindakan agresif

Faktor Psikologi yang memperkuat Perilaku KDRT?

Zastrow &Browker (1984) menyatakan bahwa ada tiga teori utama yang mampu menjelaskan terjadinya kekerasan, yaitu teori frustasi-agresi, dan teori kontrol.

Sebelum itu kita sepakat bahwa manusia sama halnya dengan hewan, dimana memiiiki suatu insting agresif yang sudah dibawa sejak iahir. Tokoh psikologi moderen atau juga di kenal sebagai pakar psikoanalisis Sigmund Freud mengklaim bahwa manusia mempunyai suatu keinginan akan kematian yang mengarahkan manusia-manusia itu untuk menikmati tindakan melukai dan membunuh orang lain, dan dirinya sendiri. Di samping itu Robert Ardery menambahkan manusia memiliki insting untuk menaklukkan dan mengontrol wilayah, yang sering mengarahkan pada perilaku konflik antar pribadi yang penuh dengan kekerasan. Dalam konotasi positif, agresifitas insting ini merupakan kegunaan dari hakikat manusia untuk survive dalam kehidupan mereka, baik dorongan melindungi diri dan sebagainya, akan tetapi agresifitas tersebut sangat di mungkinkan yang dalam kegunaannya diperuntukkan untuk kekerasan berdasarkan moivasi-motivasi tertentu. 

Pertama, teori frustasi-agresif menyatakan bahwa kekerasan sebagai suatu cara untuk mengurangi ketegangan yang dihasiikan dalam situasi frustasi. Teori Ini sangat masuk akal dimana seseorang yang frustasi umunya menjadi terlibat dalam tindakan agresif/kekerasan. Dengan persepsinya orang frustasi sering menyerang sumber frustasinya atau memindahkan frustasinya ke orang lain. Sepertia, seorang remaja (teenager) yang diejek oleh orang lain, mungkin remaja tersebut membalas dendamnya kepada orang yang mengejeknya. Seorang pengangguran yang tidak dapat mendapatkan pekerjaan mungkin saja memukul istri dan anak-anaknya.

Sisi kekurangn pada teori ini tidak menjelaskan mengapa frustasi mengarahkan tindakan kekerasan pada orang yang ia kenal, tidak pada orang Iain. Tentu timbul pertanyaan lainnya tentang apakah seorang pembunuh profesional haruslah frustasi terlebih dahulu agar dapat mendorong dirinya untuk membunuh tanpa sebab? Walaupun teori frustasi-agresi ini sebagian besar dikembangkan oleh para psikolog, beberapa sosiolog telah menguji dan  menerapkan teori ini untuk suatu keiompok besar. Mereka memperhatikan perkampungan yang miskin dan kotor di pusat kota yang dihuni oleh kaum minoritas telah menunjukkan angka kekerasan yang tinggi. Mereka berpendapat bahwa kemiskinan, kekurangan kesempatan,. dan ketidakadilan lainnya di wilayah ini sangat membuat frustasi penduduknya. 

Semua penduduk di tempat tersebut sangat menginginkan semua banda yang mereka lihat dan dimiiiki oleh orang kaya yang tidak dapat mereka peroleh. Akibatnya, mereka frustasi dan bemsaha untuk menyerangnya. Teori Ini memberikan pemahamann yang masuk akal terhadap angka kekarasan yang tinggi bagi penduduk minoritas yang miskin dan kumuh tersebut.

Kedua teori kontrol, teori ini menjelaskan bahwa orang-orang yang memiliki hubungan satu sama lain yang tidak sehat dan baik cenderung mudah untuk terpaksa berbuat kekerasan ketika usaha-usahnya untuk berhubungan dengan orang lain menghadapi situasi frustasi. Khusunya teori ini berpegang kepada orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan orang lain secara sehat dan baik cenderung lebih mampu mengontrol dan mengendaiikan perilakunya yang impulsif.

Hal ini diperkuat Travis Hirschi dalam temuannya bahwa remaja putra yang memiliki pengalaman perlakuan perilaku agresif secara fisik cenderung tidak memiliki hubungan yang dekat dengan orang lain. Ia juga menyatakan bahwa pelaku kekerasan merupakan yang paling tinggi di antara para eks narapidana lainnya, pelaku kekerasan ini adalah orang-orang yang terasingkan dari teman-teman dan keluarganya 

Di indonesia Angka laporan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan sebagai berikut:

Jumlah Kasus Kekerasan Perempuan per tahun

2019 - 11.057

2020 - 11.278

2021 - 14.517

Jumlah Kasus Kekerasan Anak per tahun

2019 - 12.285

2020 - 12.425

2021 - 15.972

Kekerasan yang terjadi pada anak dominanya adalah kategori kekerasan seksual, sedangkan pada perempuan adalah kategori kekerasan fisik. Banyak pertanyaan tentunya untuk teori di atas mengenai apakah kekerasan fisik pada perempuan di Indonesia cenderung di pengaruhi oleh kemiskinan dengan kata lain sulitnya pekerjaan yang berdampak pada sosial ekonomi seseorang?, Apakah pelaku kekerasan ini juga pernah mengalami tindak kekerasan yang extrem dari orang lain sehingga termotivasi untuk mencoba melampiaskan kekesalannya terhadap orang lain?, atau searah bersamaan dengan penggunaan obat-obat terlarang? Kajian ini sangat penting di kaji ulang oleh pihak terkait seperti; Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), dan Badan/Lembaga yang memiliki wewenang di bawah instansi tertentu.


    Penulis : Dhiya Ul Haqqi., S. Psi., M. Sc



Tidak ada komentar:

Posting Komentar