Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Saudara-saudaraku sekalian, setiap tahun kita dihadapkan pada satu masa yang sensitif, yaitu perayaan Natal oleh saudara-saudara kita Kristiani. Pertanyaan yang selalu muncul di tengah umat adalah Bagaimana seharusnya sikap seorang Muslim? Bolehkah kita mengucapkan selamat? Bolehkah kita ikut 'merayakan'?
Pendapat Ulama mengenai hal ini, terutama di Indonesia, dapat kita petakan menjadi tiga kelompok besar, yang kesemuanya memiliki dalil dan dasar ijtihad yang kuat. Mari kita bahas satu per satu.
Pertama, Pendapat Pelarangan Mutlak.
Kelompok ulama ini, yang sering merujuk pada fatwa-fatwa dari Timur Tengah atau Mazhab Hanbali, cenderung bersikap keras. Mereka berpendapat bahwa mengucapkan selamat Natal adalah haram.
Alasannya jelas, mengucapkan 'Selamat Natal' atau ikut merayakan dianggap sebagai bentuk ridha (kerelaan) atau pengakuan terhadap keyakinan trinitas dan keilahian Yesus Kristus, yang secara fundamental bertentangan dengan prinsip Tauhid (keesaan Allah) dalam Islam.
Mereka berpegangan pada kaidah: Tasyabbuh bil Kuffar—menyerupai kaum non-Muslim. Karena Natal adalah simbol ibadah mereka, maka kita dilarang menyerupainya.
Kedua, Pendapat Moderat.
Ini adalah pendapat yang dipegang oleh banyak ulama di Indonesia, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam beberapa fatwanya yang lebih fleksibel. Mereka membedakan antara Aspek Ibadah (Aqidah) dan Aspek Sosial (Muamalah).
Para ulama ini berpandangan bahwa mengucapkan 'Selamat Natal' adalah bagian dari toleransi sosial (tasamuh), bukan persetujuan akidah. Ini adalah manifestasi dari 'lakum dinukum wa liya din' (Untukmu agamamu, dan untukku agamaku) dalam konteks hubungan bertetangga dan bernegara.
Syaratnya, ucapan tersebut hanya sebatas doa agar damai dan bahagia, tanpa ada niat untuk mengakui doktrin ketuhanan Yesus.
Ketiga, Pendapat Pertengahan.
Pendapat ini sering muncul di kalangan ulama kontemporer yang berfokus pada Maqashid Syariah (tujuan syariat). Mereka menyatakan bahwa mengucapkan selamat hanya diperbolehkan dalam kondisi tertentu, seperti menjaga kemaslahatan yang lebih besar.
Misalnya, seorang pejabat negara yang mewakili seluruh rakyat, atau seorang karyawan yang diwajibkan oleh atasan non-Muslim untuk menjaga hubungan baik demi keberlangsungan pekerjaan. Dalam kasus ini, menghindari fitnah atau menjaga kedamaian sosial dianggap lebih penting daripada pelarangan ucapan semata.
Semoga Allah senantiasa membimbing kita menjadi umat yang teguh dalam keyakinan, namun lapang dada dalam bersosialisasi.